Selasa, 15 Februari 2011

SEJARAH DAN SILSILAH KESULTANAN DI CIREBON

SEJARAH DAN SILSILAH KESULTANAN DI CIREBON

Syarif Hidayatullah atau yang sering disebut dengan Sunan Gunung Jati merupakan salah satu anggota Wali Songo; penyebar agama Islam di Jawa di era Majapahit akhir. Dia adalah seorang raja (pemimpin rakyat), sekaligus wali (pemimpin spiritual, muballigh, da’i) dan sufi.

Dia adalah Putra dari Maulana Ishaq Syarif Abdillah, penguasa kota Isma’iliyah Mesir Bangsa Arab –bukan dari Aceh. Dia juga bukan Fatahillah atau Faletehan seperti yang disebut-sebut dalam sebagian catatan sejarah. Faktanya adalah terdapat makam Fatahillah (Ki Bagus Pasai) di sisi makam Sunan Gunung Jati. Lagipula, Sunan Gunung Jati hidup di era Raden Patah, Sultan Demak pertama. Sedangkan Fatahillah datang dari Aceh pada masa pemerintahan Sultan Trenggana, sultan Demak ke-3 setelah Dipati Unus.

“Gunung Jati sebagai pengguron Islam cirebon”, “Pertamanan Gunung Sembung”, “Sunan Gunung Jati bukan Fatahillah”, “Komplek pemakaman Gunung Sembung”,

***Permulaan abad XV agama Islam sudah berkembang di Jawa, terutama di Gresik, Jawa Timur dengan Maulana Malik Ibrahim -anggota sekaligus sesepuh Wali Songo- yang membuka pesantren bagi siapa saja yang berminat belajar Islam. Para santri datang dari berbagai penjuru, dan hanya sedikit yang datang dari Jawa Barat. Saat itu, Jawa Barat di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran yang Hindu, termasuk Gunung Jati yang masuk wilayah administratif Singapura (Celancang), bawahan Pajajaran

Gunung Jati yang terletak di tepi pelabuhan Muara Jati sangat ramai dikunjungi oleh para pedagang dari manca negara. Penguasa negerinya sangat bijaksana, adalah Ki Gede Surawijaya dengan syahbandar bernama Ki Gede Tapa atau Ki Jumajan Jati yang juga santri di Pengguron Islam Syekh Quro’ Krawang. Pedagang banyak yang datang dari Cina, Gujarat (barat India), dan Arab yang berdagang sambil berdakwah Islam. Lambat-laun, terjadi evolusi perubahan agama dari Budha ke Islam.

Sekitar tahun 1420M datanglah serombongan pedagang dari Baghdad yang dipimpin Syekh Idlofi Mahdi. Oleh Ki Surawijaya, Syekh Idlofi diijinkan menetap dan tinggal di kampung Pasambangan yang terletak di Gunung Jati. Dia berdakwah, dan ajaran Islam berkembang begitu cepat. Itulah awal mula Gunung Jati sebagai Pangguron Islam. Muridnya diantaranya adalah Raden Walangsungsang dan adiknya, Ratu Rarasantang, serta istrinya Nyi Endang Geulis. Keduanya adalah putra Raja Pajajaran, Raden Pamanarasa (Prabu Siliwangi) dengan Nyi Mas Subanglarang putri Ki Jumajan Jati, Syahbandar Pelabuhan Muara Jati. Karena pengaruhnya yang sangat besar bagi masyarakat sekitar, Syekh Idlofi juga disebut Syekh Dzatul Kahfi (“sesepuh yang mendiami gua”) atau Syekh Nur Jati (“sesepuh yang menyinari atau menyiarkan Gunung Jati”).

Setelah dianggap mumpuni, Walangsungsang bersama adik dan istrinya diperintahkan oleh Syekh Idlofi agar membuka hutan untuk dijadikan pedukuhan yang lokasinya di selatan Gunung Jati Setelah selesai babat alas, pedukuhan itu disebut Tegal Alang-Alang.Raden Walangsungsang sebagai penerus pengguronislam diangkat sebagai Kepala Dukuh dengan gelar Ki Kuwu dan dijuluki Pangeran Cakrabuana.

Pedukuhan itu berkembang pesat. Banyak pedagang membuka pasar dan kemudian menetap di pedukuhan itu. Karena multi ras, maka nama Tegal Alang-Alang lambat-laun luntur menjadi Caruban (pertautan). Di samping itu, nama ini disebabkan karena sebagian besar warganya bekerja sebagai pencari ikan dan mmebuat petis dari air udang yang dalam bahasa Sunda disebut “Cai Rebon”, maka lama-lama menjadi Cirebon.

Atas perintah Syekh Nurjati, Cakrabuana dan Rarasantang pergi ibadah haji, sementara istrinya yang lagi mengandung tetap di Caruban. Pedukuhan kemudian diserahkan ke Ki Pengalang-Alang (Ki danusela). Di Mekkah, keduanya bermukim beberapa bulan di rumah Syekh Bayanillah. Rarasantang kemudian disunting oleh seorang pembesar Kota Isma’iliyah bernama Syarif Abdillah bin Nurul Alim dari suku Bani Hasyim. Rarasantang kemudian berganti nama Syarifah Muda’im. Dari perkawinan ini lahirlah Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah

***Sekitar tahun 1456 M, Cakrabuana pulang kampung. Pedukuhan Caruban yang berkembang pesat kemudian diganti namanya menjadi Nagari Caruban Larang. Negeri ini diresmikan oleh Prabu Siliwangi -meskipun secara prinsip Raja Pajajaran ini kurang berkenan atas tindakan anaknya tersebut- dan Cakrabuana diberinya gelar “Sri Manggana“. Cakrabuana lalu membangun Istana Pakungwati, sesuai nama puterinya yang lahir ketika dia masih di Mekkah.

Untuk kunjungan tetapnya ke Syekh Nurjatii, Cakrabuana membangun tempat peristirahatan yang disebut pertamanan Gunung Sembung. Lokasinya berada di sebelah barat Gunung Jati, jaraknya sekitar 200m. Pada akhirnya pertamanan ini menjadi pemakaman pendirinya berikut keturunannya.

***Syarifah Muda’im dan Syarif Hidayatullah -yang saat itu berusia 20 tahun- mudik ke Cirebon, sementara Syarif Nurullah sang adik, menggantikan posisi ayahnya sebagai pembesar Kota Isma’iliyah. Sekitar tahun 1475 M mereka tiba di Caruban. Oleh Cakrabuana, keduanya diperkenankan menetap di pertamanan Gunung Sembung, sekaligus sebagai penerus Pangguron Islam Gunung Jati yang saat itu Syekh Idlofi/Syekh Nurjatisudah wafat.Pangeran Cakrabuana kemudian menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya, Nyi Ratu Pakungwati. Tahun 1479M, Cakrabuana yang sudah berusia lanjut digantikan oleh keponakan sekaligus menantunya, Syarif Hidayatullah dengan gelar Susuhunan atau Sunan, beliau pemimpin Pemerintahan sekaligus dengan pemimpin agama.

Di awal pemerintahannya, Syarif Hidayatullah sowan ke kakeknya, Prabu Siliwangi sekaligus mengajak untuk memeluk agama Islam Kembali. Namun, Sang Prabu menolak, tapi tetap mengijinkan cucunya untuk menyebarkan Islam di wilayah Pajajaran. Dia kemudian mengembara ke Banten. Di sana, dia disambut dengan baik, bahkan dinikahkan dengan putri Adipati Banten, Nyi Ratu Kawungaten. Dari pernikahan ini lahirlah Nyi Ratu Winaon dan Pangerang Sabakingking.

Peran dakwah Syarif Hidayatullah didengar sampai di Kerajaan Demak yang baru berdiri 1478M. Dia kemudian diundang ke Demak dan ditetapkan sebagai “Penetap Panata Gama Rasul” di tanah Pasundan dengan gelar Sunan Gunung Jati, sekaligus berdirilah Kesultanan Pakungwati dengan gelar Sultan. Karena merasa mendapatkan dukungan dari Demak, Cirebon tidak lagi mau membayar upeti -sebagai bukti ketundukan- pada Pajajaran. Marahlah Prabu Siliwangi. Dikirimlah 60 pasukan di bawah pimpinan Tumenggung Jagabaya untuk menangkap cucunya. Tapi usaha ini sia-sia. Pasukan Pajajaran itu berhasil dilumpuhkan oleh Cirebon. Mereka menyerah bahkan bergabung dengan Cirebon. Wilayah Cirebon semakin luas. Negeri-negeri yang sebelumnya di bawah Pajajaran seperti Surantaka, Japura, Wanagiri, Galuh, Talaga dan Singapura melebur bergabung dalam kedaulatan Cirebon.

Pembauran multi ras terjadi di Cirebon. Kakak Ki Gede Tapa (Ki Jumajan Jati) -kakek Sunan Gunung Jati, Nyi Rara Rudra menikah dengan saudagar Tiongkok/Cina, Ma Huang yang kemudian bergelar Ki Dampu Awang. Oleh Kaisar Tiongkok, Sunan Gunung Jati dijadikan menantu dinikahkan dengan Ong Tien (1481M), yang kemudian ganti menjadi Nyi Ratu Rara Sumanding. Pernikahan ini dilakukan setahun setelah Mesjid Agung Sang Ciptarasa dibangun (1480M).

***Malaka diduduki Portugis pada tahun 1511M. Kerajaan Demak mengirim pasukan yang dipimpin Dipati Unus (Pangeran Sabrang Lor) dengan dibantu oleh negeri-negeri sahabat. Cirebon bertugas mempertahankan Sunda Kelapa (Jayakarta). Pasukan Demak bisa dipukul mundur. Mereka balik ke Jawa. Di antara rombongan tersebut, terseliplah Kyai Fathullah atau Fatahillah atau Feletehan, ulama dari Aceh. Pasca Dipati Unus gugur 1521M, Demak dipegang oleh Sultan Trenggono. Fatahillah diangkat sebagai panglima pasukan Demak untuk mempertahankan Sunda Kelapa.

Dengan dibantu pasukan Cirebon, Fatahillah mampu memukul mundur Pajajaran yang berkolaborasi dengan Portugis. Mereka bisa diusir dari Sunda Kelapa di tahun 1522M. Banten di bawah kendali Pangeran Sabakingking, putra Sunan Gunung Jati juga memberikan dukungan yang hebat. Karena keberhasilan Fatahillah dalam memimpin Sunda Kelapa, maka ia juga disebut Kyai Bagus Pasai. Hanya beberapa bulan saja, Fatahillah kemudian kembali ke Cirebon -alasan utamanya adalah ditunjuk oleh Sunan Gunung Jati dalam rangka memperluas wilayah Isllam ke negeri-negeri sekitar Cirebon (seperti: talaga, Rajagaluh). Padat saat yang bersamaan, Sunan Gunung Jati menikah lagi dengan Nyi Ageng Tepasari putri Ki Ageng Tepasan, seorang mantan pembesar Majapahit. Hal ini karena Nyi Pakungwati meninggal -tidak punya anak- dan Nyi Ong Tien juga tidak dikaruniai anak. Dari perkawinan ini lahirlah Ratu Wulung Ayu dan Pangeran Muhammad Arifin (Pangeran Pasarean) yang kelak akan menggantikannya.

Selesai penaklukan negeri sekitar, Fatahillah menikah dengan putri Sunan Gunung Jati, Ratu Wulung Ayu. Bupati Jayakarta diserahkan ke Ki Bagus Angke. Pangeran Pasarean naik menggantikan Sunan Gunung Jati menjadi Sultan ke-2 Cirebon dengan penasehat politiknya, Fatahillah. Pangeran Sabakingking dinobatkan sebagai Sultan Banten pertama dengan gelar Sultan Maulana Hasanuddin. Tahun 1552M, Pasarean meninggal mendahului ayahnya. Karena anak-anaknya masih kecil, Sunan Gunung Jati kemudian mengangkat anak angkatnya, Aria Kamuning sebagai Sultan ke-3 Cirebon dengan gelar Dipati Cirebon I. Menikah dengan Nyi Ratu Wanawati putri Fatahillah, Aria Kamuning dikaruniai empat putra, yaitu: Nyi Ratu Ayu, Pangeran Mas, Pangeran Manis dan Pangeran Wirasaba.

Tahun 1568M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun. Dua tahun kemudian Fatahillah menyusul. Keduanya dimakamkam secara berdampingan dan tidak diperantarai apapun. Ini menjadi bukti bahwa kedua tokoh tersebut memanglah beda.

Pada masa pemerintahan Sultan ke-VI Pangeran Karim (Panembahan Girilaya), Mataram yang sudah pro-VOC (Sunan Amangkurat I) mengundang menantunya itu untuk datang ke Mataram. Bersama istri dan kedua anaknya -kecuali Pangeran Wangsakerta- hadir ke Mataram. Karena kecurigaan Mataram, keempatnya ditahan untuk tidak kembali ke Cirebon. Panembahan Girilaya meninggal dan dimakamkan di Bukit Wonogiri (1667M), sedang kedua putranya pulang ke Cirebon. Atas kebijakan Sultan Banten, An-Nasr Abdul Kohar, agar tidak terjadi pertumpahan darah, maka dipecahlah Cirebon menjadi tiga bagian; Kasepuhan dipegang Pangeran Martawijaya yang kemudian bergelar Sultan Raja Syamsudin, Kanoman dipegang Pangeran Kertawijaya bergelar Sultan Moh. Badridin, dan Pangeran Wangsakerta diberi bagian Kacirebonan dengan gelar Panembahan Tohpati. Peristiwa ini terjadi di tahun 1667M. Sesuai kesepakatan, hanya Kasepuhan dan Kanoman yang memakai gelar Sultan. Adapun Kaprabonan adalah pengguron tharekat ,Pangeran Raja Adipati Kaprabon, adalah putra sulung dari sultan Kanoman I, yang lebih memilih kepeduliannya terhadap bidang Tharekat Agama Islam ketimbang ke pemerintahan.

Berikut adalah silsilah raja-raja Cirebon:

SILSILAH SULTAN KERATON KASEPUHAN

Sunan Gunung Jati Syech Hidayahtullah ,Pangeran Pasarean Muhammad Tajul Arifin ,Pangeran Dipati Carbon,Panembahan Ratu,Pangeran Mande gayam ,Dipati Carbon,Panembahan Girilaya.Para Sultan :
Sultan Raja Syamsudin
Sultan Raja Tajularipin Jamaludin
Sultan Sepuh Raja Jaenudin
Sultan Sepuh Raja Suna Moh Jaenudin
Sultan Sepuh Safidin Matangaji
Sultan Sepuh Hasanudin
Sultan Sepuh I
Sultan Sepuh Raja Samsudin I
Sultan Sepuh Raja Samsudin II
Sultan Sepuh Raja Ningrat
Sultan Sepuh Jamaludin Aluda
Sultan Sepuh Raja Rajaningrat
Sultan Pangeran Raja Adipati H. Maulana Pakuningrat, SH
Sultan Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat SE


SILSILAH SULTAN KERATON KANOMAN

Sunan Gunung Jati Syech Syarif Hidayahtullah ,Panembahan Pasarean Muhammad Tajul Arifin, Panembahan Sedang Kemuning ,Panembahan Ratu Cirebon ,Panembahan Mande Gayem, Di pati carbon,,Panembahan Girilaya. Para Sultan :
Sultan Kanoman I (Sultan Badridin)
Sultan Kanoman II ( Sultan Muhamamad Chadirudin)
Sultan Kanoman III (Sultan Muhamamad Alimudin)
Sultan Kanoman IV (Sultan Muhamamad Chadirudin)
Sultan Kanoman V (Sultan Muhamamad Imammudin)
Sultan Kanoman VI (Sultan Muhamamad Kamaroedin I)
Sultan Kanoman VII (Sultan Muhamamad Kamaroedin )
Sultan Kanoman VIII (Sultan Muhamamad Dulkarnaen)
Sultan Kanoman IX (Sultan Muhamamad Nurbuat)
Sultan Kanoman X (Sultan Muhamamad Nurus)
Sultan Kanoman XI (Sultan H Muhamamad Jalalludin)
Sultan Kanoman XII ( Sultan H Ir.Muhammad Saladin )



SILSILAH KERATON KACIREBONAN

Sunan Gunung Jati Syech Syarif Hidayahtullah Panembahan Pasarean Muhammad Tajul Arifin ,Panembahan Sedang Kemuning ,Panembahan Ratu Cirebon ,Panembahan Mande Gayem ,Di pati carbon,Panembahan Girilaya .Para Sultan :
Sultan Anom Raja Mandurareja Kanoman
Pangeran Raja Hidayat Raja Madenda
Pangeran Raja DendaWijaya Raja Madenda
Pangeran Partaningrat Raja Madenda
Pangeran Raharjadireja
Pangeran Sidek Arjadiningrat
Pangeran Harkat Nata Diningrat
Pangeran Moh Mulyono Amir Natadiningrat .
Pangeran Abdulgani Natadiningrat SE


RAMA GURU-GURU PENGGURON THAREKAT CIREBON

Syekh Nurjati ,K. H. Abdul Imam P.Cakrabuwana,Sunan Gunung Jati Syech SyarifHidayahtullah, Panembahan Pasarean Muhammad Tajul Arifin ,Panembahan Sedang Kemuning ,Panembahan Ratu Cirebon ,Panembahan Mande Gayem ,Di pati carbon,Panembahan Girilaya

Sultan Kanoman I (Sultan Moch Badridin) .
Pangeran Raja Adipati Kaprabon
Pangeran Kusumawaningyun I
Pangeran Brataningrat I
Pangeran Raja Sulaeman Sulendraningrat
Pangeran Arifudin Kusumabratawireja
Pangeran Adikusuma Adiningrat
berputra
PANGERAN ANGKAWIJAYA DAN PANGERAN MUHAMMAD APIAH ADIKUSUMA II
A.PANGERAN ANGKAWIJAYA mempunyai putra yang meneruskan sebagai Raja Kaprabon
1.P.Aruman Raja Kaparbon
2.P.Herman Raja Kaprabon

B.PANGERAN MUHAMMAD APIAH ADIKUSUMA II mempunyai 4 Putra yang Meneruskan sebagai Rama Guru /Syekhuna

1.P.Kamil adikusuma..............> 1.P.Harun Adikusuma
2.P.Masoloen Sulendrakusuma .....> 2.P.Sunaryo Sulendrakusuma
3.P.M.Arifudin Purbaningrat .....> 3.P.M.H Nurbuwat Purbaningrat
4.P.Suleman Sulendraningrat......> 4.P.apiyah sulendraningrat


''Sumber Babad Chirebon''